Perhitungan Beberapa Parameter Fisik Bintang


PERHITUNGAN BEBERAPA PARAMETER FISIK BINTANG

Penentuan terhadap parameter fisik bintang, diantaranya diameter, suhu, hingga kerapatan, jelas berbeda dengan perhitungan serupa pada benda-benda di bumi. Berhubung jaraknya yang sangat jauh dan tak terjangkau secara fisik, perlu metodologi khusus untuk melakukan pengukuran semacam ini.


  • Menghitung Jarak Bintang dengan metode Paralaks Trigonometri
Pada abad ke-19 dilakukan pengukuran jarak bintang dengan cara Paralaks Trigonometri. Untuk memahami cara ini, lihatlah gambar berikut ini.

Akibat pergerakan Bumi mengelilingi Matahari, bintang terlihat seolah-olah bergerak dalam lintasan elips yg disebut elips paralaktik. Sudut yg dibentuk antara Bumi-bintang-Matahari (p) disebut paralaks bintang. Makin jauh jarak bintang dengan Bumi maka makin kecil pula paralaksnya. Dengan mengetahui besar paralaks bintang tsb, kita dapat menentukan jarak bintang dari hubungan:
tan p = R/d

R adalah jarak Bumi - Matahari, dan d adalah jarak Matahari - bintang. Krn sudut theta sangat kecil persamaan di atas dpt ditulis menjadi
Ø= R/d

pada persamaan di atas p dlm radian. Sebagian besar sudut p yg diperoleh dari pengamatan dlm satuan detik busur (lambang detik busur = {”}) (1 derajat = 3600″, 1 radian = 206265″). Oleh krn itu bila p dalam detik busur, maka

p = 206265 (R/d)

Bila kita definisikan jarak dalam satuan astronomi (SA) (1 SA = 150 juta km), maka:

p = 206265/d

Dalam astronomi, satuan jarak untuk bintang biasanya digunakan satuan parsec (pc) yg didefinisi sebagai jarak bintang yg paralaksnya satu detik busur. Dengan begini, kita dapatkan:

1 pc = 206265 SA = 3,086 x 10^18 cm = 3,26 tahun cahaya
p = 1/d –> p dlm detik busur, dan d dlm parsec.

Dari pengamatan diperoleh bintang yg memiliki paralaks terbesar adalah bintang Proxima Centauri yaitu sebesar 0″,76. Dengan menggunakan persamaan di atas maka jarak bintang ini dari Matahari ( yang berarti jarak bintang dgn Bumi) adalah 1,3 pc = 4,01 x 10^13 km = 4,2 tahun cahaya (yang berarti cahaya yg dipancarkan oleh bintang ini membutuhkan waktu 4,2 tahun untuk sampai ke Bumi). Sebarapa jauhkah jarak tersebut?? Bila kita kecilkan jarak Bumi - Matahari (150 juta km) menjadi 1 meter, maka jarak Mthr - Proxima Centauri menjadi 260 km!!! Karena sebab inilah bintang hanya terlihat sebagai titik cahaya walau menggunakan teleskop terbesar di observatorium Bosscha.
Sebenarnya ada beberapa cara lain untuk mengukur jarak bintang, seperti paralaks fotometri yg menggunakan kuat cahaya sebenarnya dari bintang. Kemudian cara paralaks trigonometri ini hanya bisa digunakan untuk bintang hingga jarak 200 pc saja. Untuk bintang2 yg lebih jauh, jaraknya dapat ditentukan dengan mengukur kecepatan bintang tersebut.

  • Sistem Magnitudo Bintang
Magnitudo adalah suatu sistem skala ukuran kecerlangan bintang. Sistem magnitudo ini dibuat pertama kali oleh Hipparchus pada abad 2 sebelum masehi. Dia membagi terang bintang menjadi 6 kelompok berdasarkan penampakkannya dengan mata telanjang. Bintang yang paling terang diberi magnitudo 1 sedangkan bintang yang paling lemah yang bisa diamati oleh mata telanjang diberi magnitudo 6. Hal yang perlu diperhatikan bahwa semakin terang suatu bintang, semakin kecil magnitudonya. Kelemahan sistem ini adalah tidak adanya suatu standar baku tentang terang bintang dan penentuan skala ini sangat tergantung pada kejelian dan kualitas mata pengamat (karena bersifat kualitatif)
Ilmuwan John Herschel mendapatkan bahwa kepekaan mata dalam menilai terang bintang bersifat logaritmik. Bintang yang bermagnitudo 1 ternyata 100 kali lebih terang dibandingkan bintang yang bermagnitudo 6. Berdasarkan fakta ini, Pogson merumuskan skala magnitudo secara kuantitatif. Hal ini menyebabkan sistem magnitudo semakin banyak digunakan hingga saat ini.

Skala Pogson untuk magnitudo (semu):


m1 - m2 = -2,5log(E1/E2)


dengan : 
m1 : magnitudo (semu) bintang 1
m2 : magnitudo (semu) bintang 2
E1 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 1
E2 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 2
Harga acuan (pembanding standar) skala magnitudo mula-mula digunakan bintang Polaris. Bintang Polaris ditetapkan memiliki magnitudo 2 dan bintang lainnya dibandingkan terhadap bintang Polaris. Bintang Polaris, yang juga bintang kutub langit utara, dipilih karena bintang ini terlihat dari seluruh observatorium yang ada di belahan bumi utara (karena pada masa itu, belahan bumi utara lebih berkembang dan maju secara teknologi). Namun, bintang ini ternyata memiliki kecerlangan yang berubah-ubah (Polaris ternyata adalah sebuah bintang variabel Cepheid) sehingga kecerlangan Polaris tidak bisa digunakan sebagai patokan/standar baku. Oleh sebab itu, astronom menentukan bintang - bintang lainnya untuk dijadikan standar.

Untuk mengukur kecerlangan suatu bintang digunakan alat yang dinamakan fotometer. Prinsip kerjanya adalah dengan memanfaatkan gejala fotolistrik. Efek fotolistrik inilah yang membuat Einstein memperoleh hadiah Nobel (dan bukan karena hukum relativitas). Penerapan efek fotolistrik ini antara lain diterapkan pada sel surya, chip CCD, dll. Cahaya (atau gelombang elektromagnetik lainnya) ketika menyentuh kelompok bahan tertentu akan menyebabkan elektron yang ada di permukaan bahan akan terlepas. Jumlah elektron yang terlepas tergantung dari intensitas radiasi gelombang elektromagnetik yang diterimanya. Jumlah elektron yang dihasilkan ini dapat menghasikan arus listrik yang dapat kita ukur. Dengan prinsip inilah, kita dapat mengukur intensitas cahaya sebuah bintang.
Cara terbaik untuk mengukur magnitudo adalah dengan membandingkan kecerlangan suatu bintang dengan bintang standar yang ada di dekatnya. Hal ini disebabkan perbedaan keadaan atmosfer antara kedua bintang (bintang standar dan bintang program/yang diamati) tidaklah besar. Atmosfer Bumi dapat menyerap sebagian cahaya bintang dan besarnya penyerapan tergantung dari ketinggian dan kondisi atmosfer yang dilewati cahaya bintang sebelum sampai ke detektor pengamat. Pada saat ini, sudah banyak bintang standar, baik di langit belahan utara maupun selatan.
Magnitudo yang kita bahas di atas merupakan ukuran terang bintang yang kita lihat atau terang semu (ada faktor jarak dan penyerapan yang harus diperhitungkan). Magnitudo yang menyatakan ukuran fluks energi bintang yang kita terima/ukuran terang bintang yang kita lihat/jumlah foton yang kita terima disebut magnitudo semu (apparent magnitude).
Untuk menyatakan luminositas atau kuat sebenarnya sebuah bintang, kita definisikan besaran magnitudo mutlak (intrinsic/absolute magnitude), yaitu magnitudo bintang yang diandaikan diamati dari jarak 10 pc.

Skala Pogson untuk magnitudo mutlak (M) :

M1 - M2 = -2,5log(L1/L2)
dengan :
M1 : magnitudo mutlak bintang 1
M2 : magnitudo mutlak bintang 2
L1 : Luminositas bintang 1
L2 : Luminositas bintang 2

Hubungan antara magnitudo semu (m) dan magnitudo mutlak (M) disebut modulus jarak.

m - M = -5 + 5 log d


dengan d adalah jarak bintang (dalam parsek (pc)) 
dan (m-M) disebut modulus jarak.

Persamaan modulus jarak umumnya digunakan dalam menentukan jarak bintang-bintang yang jauh secara tidak langsung (metode indirect). Seperti yang sudah pernah dibahas sebelumnya bahwa metode paralaks trigonometri hanya bisa menentukan jarak secara akurat untuk beberapa bintang dengan jarak kurang dari 500 pc. Untuk bintang yang lebih jauh lagi, perlu digunakan metode-metode tak langsung (indirect). Salah satunya adalah dengan mengukur magnitudo semu bintang lalu memperkirakan magnitudo mutlaknya. Cara memperkirakan magnitudo mutlak ini banyak metode/caranya. Dengan mengetahui magnitudo semu dan perkiraan magnitudo mutlak, maka kita bisa memperkirakan jarak suatu bintang dengan modulus jarak.
Hal yang perlu diperhatikan adalah persamaan modulus jarak di atas valid/benar/akurat jika diasumsikan tidak ada materi antar bintang yang terletak di antara arah pandang kita ke bintang. Materi antar bintang tersebut dapat mengabsorpsi sebagian cahaya bintang. Jika keberadaan serapan oleh materi antar bintang (MAB) tidak diabaikan, maka persamaan modulus jaraknya :


m - M = -5 + 5 log d + AV
dengan 
AV : konstanta serapan materi antar bintang.

Contoh Soal:
Magnitudo mutlak sebuah bintang adalah M = 5 dan magnitudo semunya adalah m = 10. Jika absorpsi oleh materi antar bintang diabaikan, berapakah jarak bintang tersebut ?

Jawab : 
m = 10 dan M = 5, dari rumus Pogson
m - M = -5 + 5 log d
diperoleh, 10 - 5 = -5 + 5 log d
5 log d = 10
log d = 2 
–> d = 100 pc

Sebelum perkembangan fotografi, magnitudo bintang ditentukan dengan mata. Kepekaan mata untuk daerah panjang gelombang yang berbeda tidak sama. Mata terutama peka untuk cahaya kuning hijau di daerah λ = 5 500 Å, karena itu magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo visual atau mvis.
Dengan berkembangnya fotografi, magnitudo bintang selanjutnya ditentukan secara fotografi. Pada awal fotografi, emulsi fotografi mempunyai kepekaan di daerah biru-ungu pada panjang gelombang sekitar 4.500 Å. Magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo fotografi atau mfot .
Jadi, untuk suatu bintang, mvis berbeda dari mfot. Selisih kedua magnitudo tersebut, yaitu magnitudo fotografi dikurang magnitudo visual disebut indeks warna (Color Index - CI).
Semakin panas atau makin biru suatu bintang, semakin kecil indeks warnanya.
Dengan berkembangnya fotografi, selanjutnya dapat dibuat pelat foto yang peka terhadap daerah panjang gelombang lainnya, seperti kuning, merah bahkan inframerah.

Pada tahun 1951, H.L. Johnson dan W.W. Morgan mengajukan sistem magnitudo yang disebut sistem UBV, yaitu :
U = magnitudo semu dalam daerah ultraungu (λef = 3500 Å)
B = magnitudo semu dalam daerah biru ( λef = 4350 Å)
V = magnitudo semu dalam daerah visual ( λef = 5550 Å)

Dalam sistem UBV ini, indeks warna adalah U-B dan B-V. Semakin panas suatu bintang, semakin kecil nilai (B-V) nya. Dewasa ini pengamatan fotometri tidak lagi menggunakan pelat film, tetapi dilakukan dengan kamera CCD, sehingga untuk menentukan bermacam-macam sistem magnitudo tergantung pada filter yang digunakan.

Contoh Soal:
Tiga bintang diamati magnitudo dalam panjang gelombang visual (V) dan biru (B) seperti yang diperlihatkan dalam tabel di bawah.

No.
B
V
1
8,52
8,82
2
7,45
7,25
3
7,45
6,35

Tentukan bintang nomor berapakah yang paling terang ? Jelaskanlah alasannya
Bintang yang anda pilih sebagai bintang yang paling terang itu dalam kenyataannya apakah benar-benar merupakan bintang yang paling terang ? Jelaskanlah jawaban anda.
Tentukanlah bintang mana yang paling panas dan mana yang paling dingin. Jelaskanlah alasannya.

Jawab:
Bintang paling terang adalah bintang yang magnitudo visualnya paling kecil. Dari tabel tampak bahwa bintang yang magnitudo visualnya paling kecil adalah bintang no. 3, jadi bintang yang paling terang adalah bintang no. 3
Belum tentu karena terang suatu bintang bergantung pada jaraknya ke pengamat seperti terlihat pada rumus yang sudah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu bintang yang sangat terang bisa tampak sangat lemah cahayanya karena jaraknya yang jauh.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita tentukan dahulu indeks warna ketiga bintang tersebut, karena makin panas atau makin biru sebuah bintang maka semakin kecil indeks warnanya.

Nomor bintang
B
V
B – V
1.
8,52
8,82
-0,30
2.
7,45
7,25
0,20
3.
7,45
6,35
1,10

Dari tabel di atas tampak bahwa bintang yang mempunyai indeks warna terkecil adalah bintang no. 1. Jadi bintang terpanas adalah bintang no. 1.

  • Magnitudo Bolometrik
Sistem magnitudo yang sudah kita bahas di atas hanya diukur pada panjang gelombang tertentu saja (mvis,mfot,mB,mU). Walaupun berbagai magnitudo tersebut dapat menggambarkan sebaran energi pada spektrum bintang sehingga dapat memberikan petunjuk mengenai temperaturnya, namun belum dapat memberikan informasi mengenai sebaran energi pada seluruh panjang gelombang yang dipancarkan oleh suatu bintang. Oleh sebab itu, didefinisikanlah sistem magnitudo bolometrik (mbol) yang menyatakan magnitudo bintang yang diukur dalam seluruh panjang gelombang.
Magnitudo mutlak bolometrik bintang sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui luminositas dari sebuah bintang (energi total yang dipancarkan permukaan bintang per detik) dengan membandingkannya dengan magnitudo mutlak bolometrik Matahari.

Dengan:
 Mbol¤= magnitudo mutlak bolometrik bintang
Mbol = magnitudo mutlak bolometrik Matahari (4,74)

Persamaan modulus jarak untuk magnitudo bolometrik (absorpsi MAB diabaikan):

mbol - Mbol = -5 + 5log d
dengan d dalam parsec.

Apabila Mbol suatu bintang dapat ditentukan, maka luminositasnya juga dapat ditentukan (dapat dinyatakan dalan luminositas Matahari). Luminositas bintang merupakan parameter yang sangat penting dalam teori evolusi bintang. Sayangnya, magnitudo mutlak bolometrik sangat sukar ditentukan, karena beberapa panjang gelombang tidak dapat menembus atmosfer bumi. Untuk bintang yang panas, sebagian energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet. Untuk bintang yang dingin, sebagian energinya dipancarkan pada daerah inframerah. Oleh karena itu, pengamatan magnitudo bolometrik harus dilakukan di atas atmosfer.
Untuk memudahkan, magnitudo bolometrik ditentukan secara teori berdasarkan pengamatan di bumi. Atau, dapat ditentukan secara tidak langsung, yaitu dengan memberikan koreksi pada magnitudo visualnya, yang disebut koreksi bolometrik (Bolometric Correction - BC).

mv - mbol = BC
Mv - Mbol = BC

Nilai BC tergantung pada temperatur atau warna bintang.

Untuk bintang yang sangat panas, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet sedangkan untuk bintang yang sangat dingin, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah inframerah (hanya sebagian kecil saja pada daerah visual). Untuk bintang-bintang seperti ini, harga BC-nya besar. Untuk bintang-bintang yang bertemperatur sedang, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah visual, sehingga harga BC-nya kecil.

Karena harga BC bergantung pada warna bintang, maka kita dapat mencari hubungan antara BC dan indeks warna (B-V). Untuk bintang yang dapat ditentukan magnitudo bolometriknya. Didefinisikan bahwa harga terkecil BC adalah nol (BC ≥ 0). Untuk BC = 0 untuk (B-V) = 0,3. Hubungan antara nilai BC dengan indeks warna (CI) ditunjukkan dalam grafik di bawah ini:

Untuk Matahari, magnitudo bolometriknya (mbol¤) = -26,83, magnitudo mutlak bolometriknya adalah Mbol¤ = 4,74 dan koreksi bolometriknya BC = 0,08. Berikut disajikan tabel temperatur efektif dan koreksi bolometrik untuk bintang-bintang deret utama dan bintang maharaksasa:

B - V
Bintang deret utama
Bintang maharaksasa
Tef
BC
Tef
BC
- 0,25
24500
2,30
26000
2,20
- 0,23
21000
2,15
23500
2,05
- 0,20
17700
1,80
19100
1,72
- 0,15
14000
1,20
14500
1,12
- 0,10
11800
0,61
12700
0,53
- 0,01
10500
0,33
11000
0,14
0,00
9480
0,15
9800
- 0,01
0,10
8530
0,04
8500
- 0,09
0,20
7910
0
7440
- 0,10
0,30
7450
0
6800
- 0,10
0,40
6800
0
6370
- 0,09
0,50
6310
0,03
6020
- 0,07
0,60
5910
0,07
5800
- 0,003
0,70
5540
0,12
546
0,003
0,80
5330
0,19
5200
0,10
0,90
5090
0,28
4980
0,19
1,00
4840
0,40
4770
0,30
1,20
4350
0,75
4400
0,59

  • Luminositas Bintang

Total energi per waktu / daya yang dipancarkan sebuah benda hitam dengan luas permukaan pemancar A dan temperatur T Kelvin disebut dengan Luminositas. Besarnya luminositas (L) dihitung dengan persamaan :

L = A σT4
Untuk bintang, bintang dianggap berbentuk bola sempurna sehingga luas pemancar radiasinya (A) adalah 4πR2 ; dengan R menyatakan radius bintang. Jadi, luminositas bintang (L) adalah :
L = 4πR2 σT4 
Benda hitam memancarkan radiasinya ke segala arah. Kita bisa menganggap pancaran radiasi tersebut menembus permukaan berbentuk bola dengan radius d dengan fluks energi yang sama, yaitu E. Besarnya E :
E = L/(4πd2

Fluks energi inilah yang diterima oleh pengamat dari bintang yang berada pada jarak d dari pengamat. Oleh karena itu, fluks energi ini sering disebut fluks energi yang diterima pengamat. (bedakan antara besaran E dan F).

Persamaan ini disebut juga hukum kuadrat kebalikan (invers square law) untuk kecerlangan (brightness, E) karena persamaan ini menyatakan bahwa kecerlangan (E) berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya (d). Jadi, makin jauh sebuah bintang, makin redup cahayanya.


Untuk mengukur diameter bintang biasa digunakan beberapa cara. Dari kecerlangan dan jarak bintang, kita bisa menghitung luminositasnya (L), sementara dari observasi terhadap kecerlangan pada panjang gelombang yang berbeda, kita bisa menghitung temperaturnya (T). 

Dari sini, kita memperoleh cara untuk menghitung R, radius (jari-jari) bintang. Dalam persamaan diatas, σ adalah konstanta Stefan yang nilainya 5,67 × 10-5 erg/cm2deg4sec. (Radius R disini merujuk pada fotosfer bintang, daerah dimana bintang secara efektif terlihat bulat melalui pengamatan dari luar.) Diameter sudut bintang dapat dihitung melalui efek interferensi. Alternatif lainnya, kita bisa mengamati intensitas cahaya bintang saat ditutupi oleh Bulan, yang menghasilkan difraksi di bagian pinggir dengan pola yang bergantung kepada diameter sudut bintang. Diameter sudut bintang sebesar beberapa milidetik-busur dapat diukur, namun sejauh ini terbatas pada bintang-bintang yang relatif cemerlang dan dekat.

  • Periode Orbit Bintang Ganda

Banyak bintang yang membentuk sistem bintang ganda, dimana dua buah bintang secara berpasangan mengorbit suatu pusat massa bersama. Periode (P) dari sistem bintang ganda berhubungan dengan massa dari kedua bintang (m1 + m2), dan sumbu orbital semimayor a melalui hukum ketiga kepler:
P2=4π2a3/G[m1 + m2]

Dimana G adalah konstanta gravitasi universal. 

  • Densitas Bintang

Dari diameter dan massa, nilai rata-rata kerapatan (densitas) bintang dapat dihitung, dan kemudian kita juga bisa mengukur tekanan dan temperatur di pusat bintang. Sebagai contoh, Matahari kita memiliki kerapatan di pusatnya sebesar 158 g/cm3, tekanan diperhitungkan mencapai 1.000.000.000 atmosfir, dengan suhu mencapai 15.000.000 K. Dalam suhu setinggi ini, semua atom akan terionisasi, dan dengan demikian interior matahari terdiri dari plasma dan gas yang terionisasi, dengan inti atom hidrogen dan helium serta elektron sebagai penyusun utamanya. Sekelompok kecil inti hidrogen bergerak dengan kecepatan sedemikian tinggi hingga ketika bertumbukan, terjadi tolakan elektrostatik yang menyebabkan fusi (penggabungan) inti helium dan diikuti oleh pelepasan energi. Sebagian energi dihantarkan oleh neutrino, namun sebagian besar dihantarkan oleh foton ke permukaan matahari. Proses inilah yang memungkinkan Matahari memancarkan sinarnya.


  • Klasifikasi Spektral Bintang

Dalam astronomi, bintang dikelompokkan berdasarkan spektrumnya. Pengelompokan berdasarkan spektrum ini dilakukan karena spektrum bintang memberikan informasi yang sangat banyak, mulai dari temperatur sampai unsur-unsur yang terdapat dalam bintang. Spektrum adalah hasil dari pembiasan gelombang elektromagnetik (contohnya cahaya). Pada dasarnya cahaya yang kita temukan sehari-hari - yang berwarna putih/bening - adalah gabungan dari berbagai warna. Warna-warna ini yang menunjukkan tingkat energi: merah menghasilkan energi yang paling rendah dan ungu menghasilkan energi paling tinggi.

Berdasarkan rumus:
E = hf = hc/A
E = energi, 
h = konstanta Planck, 
f = frekuensi, 
c = kecepatan cahaya dan 
A = panjang gelombang,
h = 6,63x10^-34

Maka gelombang berenergi besar memiliki frekuensi yang besar, dan sebaliknya panjang gelombangnya kecil. Informasi semacam ini yang diturunkan dengan berbagai pendekatan fisika, sehingga dalam penerapannya di Astronomi, spektrum bintang itu sangat penting.
Pengelompokan bintang dengan kelas spektral seperti klasifikasi Morgan - Keenan. Lihat gambar dibawah ini :

(Sumber:http://slideplayer.com/slide/10792049/38/images/3/Spectral+classification+1+Morgan-Keenan+spectral+classification.jpg) 

Bintang kelas O
adalah bintang yang panas, berwarna biru. Bintang kelas M merupakan bintang yang dingin. Matahari termasuk kedalam bintang dengan kelas G, warnanya kuning. Perlu dicatat, klasifikasi seperti ini tidak ada hubungannya dengan ukuran bintang. Jadi bintang kelas O belum tentu ukurannya sangat besar.
Dengan melakukan observasi spektroskopi - yaitu pengamatan bintang khusus pada spektrumnya - didapatkan panjang gelombang cahaya yang dipancarkan bintang. Dengan rumus yang tadi, bisa diketahui berapa energinya. Dengan menerapkan hukum Termodinamika bisa diketahui kaitan antara energi dengan temperatur.
Klasifikasi MK ini diterapkan dalam diagram yang disebut Diagram Hertzprung - Russel. Diagram ini dikembangkan oleh Astronom bernama Ejnar Hertzsprung dan Henry Norris Russell sekitar tahun 1910, dan bermanfaat dalam mempelajari evolusi bintang, yakni proses lahir, berkembang dan matinya bintang. Gambar HR diagram bisa dilihat seperti gambar di bawah ini:

Untuk mendapatkan diagram HR ini, biasanya dilakukan 2 jenis observasi, yaitu Spektroskopi dan Fotometri. Spektroskopi seperti yang sudah saya jelaskan tadi, sedang Fotometri adalah pengamatan dengan berpatokan pada magnitudo (kecerlangan) bintang. Dari pengamatan spektroskopi didapatkan kelas spektrum, dan dari pengamatan fotometri didapatkan kelas luminositas. Lalu, dengan mencocokkan posisi bintang dalam diagram terhadap kelas spektrum dan kelas luminositasnya tersebut, dikaji lebih lanjut tentang radius dan umur bintang. Begitulah salah satu cara analisis yang dilakukan astronom dalam mempelajari bintang. Matahari, misalnya, adalah bintang tahapan utama, yang dikelompokkan sebagai bintang tipe G2 V (V menunjukkan bintang tahapan utama), sementara Betelguese yang merupakan sebuah bintang super-raksasa merah, dengan suhu di permukaan sekitar setengah kali Matahari namun dengan luminositas sekitar 10.000 kalinya, dikelompokkan sebagai M2 Iab.

  • Diagram Hetzprung-Russel

Bintang lainnya, baik yang lebih maupun kurang masif dibandingkan Matahari, memiliki struktur yang kurang lebih sama, namun dalam hal ukuran, tekanan dan temperatur di pusat, dan kecepatan reaksi fusi, semuanya bergantung pada massa dan komposisi bintang bersangkutan. Bintang dan reaksi fusi didalamnya (dan luminositas resultannya) tetap dalam keadaan stabil dan terhindar dari keruntuhan karena adanya keseimbangan antara tekanan ke arah dalam yang dihasilkan oleh tarikan gravitasi dan tekanan ke arah luar yang dipicu oleh foton hasil dari reaksi fusi.
Bintang yang berada dalam keadaan keseimbangan hidrostatik semacam ini disebut sebagai bintang tahapan utama (main-sequence). Dengan memanfaatkan diagram Hertzprung-Russel (H-R), kita bisa menghitung temperatur bintang berdasarkan magnitudo dan spektrumnya. Pengukuran terhadap magnitudo tampak pada pita spektral B dan V (antara 4350 dan 5550 angstrom [Å]) memungkinkan kita menghitung indeks warna (colour index), CI = mB - mV, dimana dari sana kita bisa menghitung suhu pada bintang. Untuk suhu yang sudah diberikan, ada bintang yang memiliki luminositas lebih besar dari bintang tahapan utama. Besar nilai R2T4 bergantung pada luminositasnya, makin besar luminositas, berarti radiusnya juga lebih besar. Bintang yang radiusnya lebih besar dari bintang-bintang tahapan utama kita golongkan sebagai bintang raksasa atau super-raksasa. Sebaliknya, bintang yang radiusnya lebih kecil kita masukkan kedalam golongan bintang kerdil. Bintang kerdil putih misalnya, memiliki rentang suhu berkisar 10.000 hingga 12.000 K dan secara visual terlihat berwana putih kebiruan.


  • Contoh Bintang : Archenar
Terletak sejauh 144 tahun cahaya dari Matahari, bintang yang satu ini menandai ujung selatan rasi Eridanus (”sungai”). Achernar, nama bintang ini berasal dari bahasa arab “Al Akhir al Nahr” yang artinya “muara sungai”. Achernar adalah bintang paling cemerlang nomor sembilan di langit malam. Posisi bintang ini sekitar 32 derajat dari kutub selatan dan karenanya tidak terlalu dikenal oleh mereka yang tinggal di belahan utara katulistiwa.
Achernar adalah bintang biru-putih yang sedang berada dalam tahapan utamanya. Berdasarkan kelas spektral dan luminositasnya, bintang ini digolongkan dalam kelas B3 Vpe. Sebelumnya, Achernar sempat diklasifikasikan secemerlang bintang sub-raksasa. Massanya berkisar pada 6 hingga 8 kali massa Matahari, dengan diameter 14,4 (± 0,4; polar) hingga 24,0 (± 0,8; ekuatorial) kali diameter matahari. Luminositas visualnya setara dengan 1.070 kali matahari dengan luminositas bolometrik (bergantung pada perkiraan radiasi ultraviolet yang dipancarkan) setidaknya 2.900 hingga 5.400 kalinya.
Bintang yang berotasi dengan sangat cepat ini tergolong bintang yang masih sangat muda. Usianya tidak lebih dari beberapa ratus juta tahun. Sambil melontarkan massa dengan besaran ribuan kali massa matahari, Achernar berotasi dengan kecepatan mencapai 225 hingga 300 kilometer per detik sehingga membuatnya tergolong sebagai bintang “Be” (B-emission), dimana ia dilingkupi oleh emisi sirkumstelar (circumstellar emission, CSE) - gas yang melingkupi bintang - yang terus berekspansi akibat massa yang terlontar dari bintang tersebut. Sebagai bintang bermassa besar yang usianya masih sangat muda, Achernar berotasi dengan sangat cepat, dengan periode rotasi hanya dalam hitungan jam.
Achernar juga merupakan bagian dari kelas bintang yang ganjil, Lambda Eridani, yang beranggotakan bintang-bintang yang menunjukkan variasi kecerlangan yang kecil namun sangat teratur (dengan periode 1,25 hari) yang mungkin disebabkan oleh adanya denyutan atau oleh rotasi dan keberadaan bintik gelap (seperti sunspot pada matahari kita). Walaupun Achernar adalah bintang yang masif, ia masih cukup muda untuk melakukan reaksi fusi hidrogen menjadi helium pada intinya, dan ukurannya mungkin cukup kecil untuk kelak berevolusi menjadi bintang kerdil putih semacam Sirius B.
Pada Juli 2003, suatu tim astronom dari European Southern Observatory (ESO) yang beranggotakan Armando Domiciano de Souza, Lyu Abe, Farrokh Vakili, Pierre Kervella, Slobodan Jankov, Emmanuel DiFolco, dan Francesco Paresce mengumumkan bahwa Achernar lebih pepat (datar pada kutub-kutubnya) ketimbang yang sebelumnya diprediksikan, dengan radius pada ekuator lebih dari 50 persen lebih besar daripada kutubnya. Berdasarkan penelitian tim ini, besaran angular pada profil eliptik Archenar adalah 0,00253 ± 0,00006 detik busur (major axis) dan 0,00162 ± 0,00001 detik busur (minor axis). Pada jarak yang terukur, radius bintang pada ekuator diperkirakan sekitar 12 ± 0.4 kali matahari sementara batas atas (upper value) radius pada kutub diperkitakan sekitar 7,7 ± 0,2 kali matahari, atau sekitar 8,4 dan 5,4 juta kilometer. Tim ESO memperkirakan bahwa batas atas tersebut bergantung pada sudut inklinasi (kemiringan) dari sumbu kutub bintang tersebut terhadap garis pandang dari Bumi, sehingga ukuran sebenarnya mungkin lebih kecil.
Di sisi lain, bentuk semacam Archenar tidak dapat direproduksi melalui model interior bintang yang umum, kecuali apabila ada fenomena lain yang ikut ambil bagian, termasuk sirkulasi meridional di permukaan (”aliran utara-selatan”) dan rotasi yang tidak seragam pada kedalaman yang berbeda pada bintang ini. Salah satu efek samping dari kepepatan yang ekstrim pada bintang ini adalah tingginya tingkat kehilangan massa dari permukaan, yang juga turut diperbesar oleh rotasinya yang sangat kencang melalui efek sentrifugal.
Berdasarkan intensitas radiasi ultravioletnya yang tinggi, jarak dari Achernar dimana planet setipe Bumi dapat membentuk, lengkap dengan keberadaan air dalam bentuk cair, adalah antara 54 hingga 73 AU, atau diluar orbit Pluto di tata surya kita. Dalam jarak sedemikian dari bintang induknya, suatu planet akan memiliki periode orbit antara 160 hingga 260 tahun Bumi. Apabila ada kehidupan di planet setipe Bumi yang mengorbit Achernar, itu mestilah organisme primitif bersel satu, bakteri anaerobik (tidak menghasilkan oksigen), dibawah bombardemen yang konstan dari meteorit dan komet, seperti yang pernah dialami Bumi pada satu miliar tahun pertama terbentuknya. Karena ketiadaan oksigen, maka planet itu mungkin tidak memiliki lapisan Ozon (O3), meskipun Achernar melepaskan sejumlah besar radiasi (khususnya ultraviolet) ketimbang matahari. Para astronom mungkin akan kesulitan untuk mendeteksi keberadaan planet seukuran Bumi di sekeliling Achernar apabila menggunakan metode yang dikenal saat ini.

  • Konstanta Hubble

Dalam ilmu astronomi, kita mengenal apa yang disebut sebagai hukum Hubble (Hubble’s Law). Hukum ini menyatakan bahwa pergeseran merah dari cahaya yang datang dari galaksi yang jauh adalah sebanding dengan jaraknya. Hukum ini pertama kali dirumuskan oleh Edwin Hubble pada tahun 1929.Kita sudah pernah belajar tentang efek pergeseran Doppler, dimana kenyataan bahwa galaksi-galaksi bergerak saling menjauh memberikan sebuah gambaran tentang alam semesta yang mengembang yang apabila diekstrapolasikan ke waktu lampau akan berpangkal pada peristiwa sebuah dentuman besar (big bang) yang menandai terbentuknya alam semesta. Hubble membandingkan jarak ke galaksi dekat dengan pergeseran merah mereka, dan menemukan hubungan yang linear. Perkiraannya tentang suatu konstanta perbandingan ini dikenal dengan nama konstanta Hubble (dan sekarang juga dikenal sebagai “parameter Hubble” karena ternyata hal ini bukanlah sekedar konstanta, melainkan suatu parameter yang tergantung pada waktu yang menandakan perluasan alam semesta yang dipercepat), sebenarnya meleset dengan faktor 10.Lebih jauh lagi, jika seseorang menggunakan pengamatan Hubble yang asli dan kemudian memakai jarak yang paling akurat dan kecepatan yang sekarang diketahui, ia akan memperoleh suatu grafik scatter plot yang acak tanpa hubungan yang jelas antara pergeseran merah dengan jarak. Sekalipun demikian, hubungan yang hampir linear antara pergeseran merah dan jarak dikuatkan oleh pengamatan setelah Hubble. Hukum ini dapat dinyatakan sebagai berikut:

v = H0 D

dimana v adalah pergeseran merah, biasanya dinyatakan dalam km/s (kecepatan di mana galaksi menjauhi kita, untuk menghasilkan pergeseran merah ini melalui efek Doppler), H0 adalah parameter Hubble (pada pengamat, seperti dilambangkan dengan indeks 0), dan D adalah jarak sekarang dari pengamat ke galaksi, yang diukur dalam megaparsek: Mpc.
Kita dapat menurunkan hukum Hubble secara matematis jika ia menganggap bahwa alam semesta mengembang (atau menyusut) dan menganggap bahwa alam semesta adalah homogen, yang berarti bahwa semua titik di dalamnya adalah sama.
Selama sebagian besar dari paruh kedua abad ke-20, nilai dari H0 diperkirakan berada di antara 50 dan 90 km/s/Mpc. Nilai dari konstanta Hubble sudah merupakan topik kontroversi yang cukup lama dan pahit antara Gérard de Vaucouleurs yang menyatakan bahwa nilainya adalah 100 dan Allan Sandage yang menyatakan bahwa nilainya adalah 50. Proyek Hubble Key benar-benar melakukan perbaikan penting dalam menentukan nilai ini dan pada bulan Mei 2001 mempublikasikan perkiraanya sekitar 72+/-8 km/s/Mpc. Pada tahun 2003 satelit WMAP menyempurnakan lebih jauh menjadi 71+/-4, menggunakan cara yang sama sekali berbeda, berdasarkan pada pengukuran anisotropi pada radiasi latar belakang gelombang mikro kosmik. Angka ini kemudian dikoreksi lagi pada Agustus 2006. Berdasarkan data dari Observatorium Sinar X Chandra, nilai konstanta hubble ditetapkan pada angka 70 (km/s)/Mpc, +2.4/-3.2.
Konstanta Hubble adalah “konstan” dalam arti bahwa konstanta ini dipercaya bisa dipakai untuk semua kecepatan dan jarak pada masa sekarang. Nilai dari H (yang biasa disebut sebagai parameter Hubble untuk membedakannya dengan nilai sekarang, konstanta Hubble) berkurang terhadap waktu. Jika kita menganggap bahwa semua galaksi mempertahankan kecepatannya relatif terhadap kita dan tidak mengalami percepatan atau perlambatan, maka kita memiliki D = vt dan oleh karena itu H = 1/t, di mana t adalah waktu sejak dentuman dahsyat (Big Bang). Rumus ini dapat digunakan untuk memperkirakan usia alam semesta dari H.
Namun pengamatan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa gerak galaksi dipercepat menjauhi kita, yang berarti bahwa H > 1/t (tetapi tetap saja berkurang terhadap waktu) dan perkiraan 1/H0 (antara 11 dan 20 milyar tahun) sebagai usia alam semesta adalah terlampau kecil.

Comments

Popular posts from this blog

Plan of Development – POD dalam Industri MIGAS

Ekspedisi KON -TIKI (KON-TIKI expedition)