Perhitungan Beberapa Parameter Fisik Bintang
PERHITUNGAN BEBERAPA PARAMETER FISIK BINTANG
Penentuan
terhadap parameter fisik bintang, diantaranya diameter, suhu,
hingga kerapatan, jelas berbeda dengan perhitungan serupa pada
benda-benda di bumi. Berhubung jaraknya yang sangat jauh dan tak terjangkau
secara fisik, perlu metodologi khusus untuk melakukan pengukuran semacam ini.
- Menghitung Jarak Bintang dengan metode Paralaks Trigonometri
Pada
abad ke-19 dilakukan pengukuran jarak bintang dengan cara Paralaks
Trigonometri. Untuk memahami cara ini, lihatlah gambar berikut ini.
Akibat
pergerakan Bumi mengelilingi Matahari, bintang terlihat seolah-olah bergerak
dalam lintasan elips yg disebut elips paralaktik. Sudut yg dibentuk antara
Bumi-bintang-Matahari (p) disebut paralaks bintang. Makin jauh jarak bintang
dengan Bumi maka makin kecil pula paralaksnya. Dengan mengetahui besar paralaks
bintang tsb, kita dapat menentukan jarak bintang dari hubungan:
tan
p = R/d
R
adalah jarak Bumi - Matahari, dan d adalah jarak Matahari - bintang. Krn sudut
theta sangat kecil persamaan di atas dpt ditulis menjadi
Ø=
R/d
pada
persamaan di atas p dlm radian. Sebagian besar sudut p yg diperoleh dari
pengamatan dlm satuan detik busur (lambang detik busur = {”}) (1 derajat =
3600″, 1 radian = 206265″). Oleh krn itu bila p dalam detik busur, maka
p
= 206265 (R/d)
Bila
kita definisikan jarak dalam satuan astronomi (SA) (1 SA = 150 juta km), maka:
p
= 206265/d
Dalam
astronomi, satuan jarak untuk bintang biasanya digunakan satuan parsec (pc) yg
didefinisi sebagai jarak bintang yg paralaksnya satu detik busur. Dengan
begini, kita dapatkan:
1
pc = 206265 SA = 3,086 x 10^18 cm = 3,26 tahun cahaya
p
= 1/d –> p dlm detik busur, dan d dlm parsec.
Dari
pengamatan diperoleh bintang yg memiliki paralaks terbesar adalah bintang
Proxima Centauri yaitu sebesar 0″,76. Dengan menggunakan persamaan di atas maka
jarak bintang ini dari Matahari ( yang berarti jarak bintang dgn Bumi) adalah 1,3 pc =
4,01 x 10^13 km = 4,2 tahun cahaya (yang berarti cahaya yg dipancarkan oleh
bintang ini membutuhkan waktu 4,2 tahun untuk sampai ke Bumi). Sebarapa jauhkah
jarak tersebut?? Bila kita kecilkan jarak Bumi - Matahari (150 juta km) menjadi 1
meter, maka jarak Mthr - Proxima Centauri menjadi 260 km!!! Karena sebab inilah
bintang hanya terlihat sebagai titik cahaya walau menggunakan teleskop terbesar
di observatorium Bosscha.
Sebenarnya
ada beberapa cara lain untuk mengukur jarak bintang, seperti paralaks fotometri
yg menggunakan kuat cahaya sebenarnya dari bintang. Kemudian cara paralaks
trigonometri ini hanya bisa digunakan untuk bintang hingga jarak 200 pc saja.
Untuk bintang2 yg lebih jauh, jaraknya dapat ditentukan dengan mengukur
kecepatan bintang tersebut.
- Sistem Magnitudo Bintang
Magnitudo adalah suatu sistem skala ukuran
kecerlangan bintang. Sistem magnitudo ini dibuat pertama kali oleh Hipparchus pada abad 2 sebelum
masehi. Dia membagi terang bintang menjadi 6 kelompok berdasarkan
penampakkannya dengan mata telanjang. Bintang yang paling terang diberi
magnitudo 1 sedangkan bintang yang paling lemah yang bisa diamati oleh mata
telanjang diberi magnitudo 6. Hal yang perlu diperhatikan bahwa semakin terang
suatu bintang, semakin kecil magnitudonya. Kelemahan sistem ini adalah tidak
adanya suatu standar baku tentang terang bintang dan penentuan skala ini sangat
tergantung pada kejelian dan kualitas mata pengamat (karena bersifat kualitatif)
Ilmuwan John Herschel mendapatkan bahwa
kepekaan mata dalam menilai terang bintang bersifat logaritmik. Bintang yang
bermagnitudo 1 ternyata 100 kali lebih terang dibandingkan bintang yang
bermagnitudo 6. Berdasarkan fakta ini, Pogson merumuskan skala magnitudo secara
kuantitatif. Hal ini menyebabkan sistem magnitudo semakin banyak digunakan
hingga saat ini.
m1 - m2 = -2,5log(E1/E2)
|
dengan :
m1 : magnitudo (semu) bintang 1
m2 : magnitudo (semu) bintang 2
E1 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 1
E2 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 2
m2 : magnitudo (semu) bintang 2
E1 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 1
E2 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 2
Harga acuan (pembanding standar) skala
magnitudo mula-mula digunakan bintang Polaris. Bintang Polaris ditetapkan
memiliki magnitudo 2 dan bintang lainnya dibandingkan terhadap bintang Polaris.
Bintang Polaris, yang juga bintang kutub langit utara, dipilih karena bintang
ini terlihat dari seluruh observatorium yang ada di belahan bumi utara (karena
pada masa itu, belahan bumi utara lebih berkembang dan maju secara teknologi).
Namun, bintang ini ternyata memiliki kecerlangan yang berubah-ubah (Polaris
ternyata adalah sebuah bintang variabel Cepheid) sehingga kecerlangan Polaris
tidak bisa digunakan sebagai patokan/standar baku. Oleh sebab itu, astronom
menentukan bintang - bintang lainnya untuk dijadikan standar.
Untuk mengukur kecerlangan suatu bintang
digunakan alat yang dinamakan fotometer. Prinsip kerjanya adalah dengan
memanfaatkan gejala fotolistrik. Efek fotolistrik inilah yang membuat Einstein
memperoleh hadiah Nobel (dan bukan karena hukum relativitas). Penerapan efek
fotolistrik ini antara lain diterapkan pada sel surya, chip CCD, dll. Cahaya
(atau gelombang elektromagnetik lainnya) ketika menyentuh kelompok bahan
tertentu akan menyebabkan elektron yang ada di permukaan bahan akan terlepas.
Jumlah elektron yang terlepas tergantung dari intensitas radiasi gelombang
elektromagnetik yang diterimanya. Jumlah elektron yang dihasilkan ini dapat
menghasikan arus listrik yang dapat kita ukur. Dengan prinsip inilah, kita
dapat mengukur intensitas cahaya sebuah bintang.
Cara terbaik untuk mengukur magnitudo
adalah dengan membandingkan kecerlangan suatu bintang dengan bintang standar
yang ada di dekatnya. Hal ini disebabkan perbedaan keadaan atmosfer antara
kedua bintang (bintang standar dan bintang program/yang diamati) tidaklah
besar. Atmosfer Bumi dapat menyerap sebagian cahaya bintang dan besarnya
penyerapan tergantung dari ketinggian dan kondisi atmosfer yang dilewati cahaya
bintang sebelum sampai ke detektor pengamat. Pada saat ini, sudah banyak
bintang standar, baik di langit belahan utara maupun selatan.
Magnitudo yang kita bahas di atas merupakan
ukuran terang bintang yang kita lihat atau terang semu (ada faktor jarak dan
penyerapan yang harus diperhitungkan). Magnitudo yang menyatakan ukuran fluks
energi bintang yang kita terima/ukuran terang bintang yang kita lihat/jumlah
foton yang kita terima disebut magnitudo semu (apparent magnitude).
Untuk menyatakan luminositas atau kuat
sebenarnya sebuah bintang, kita definisikan besaran magnitudo mutlak
(intrinsic/absolute magnitude), yaitu magnitudo bintang yang diandaikan diamati
dari jarak 10 pc.
Skala
Pogson untuk magnitudo mutlak (M) :
M1 - M2 = -2,5log(L1/L2)
dengan :M1 : magnitudo mutlak bintang 1
M2 : magnitudo mutlak bintang 2
L1 : Luminositas bintang 1
L2 : Luminositas bintang 2
Hubungan
antara magnitudo semu (m) dan magnitudo mutlak (M) disebut modulus jarak.
m - M = -5 + 5 log d
dengan d adalah jarak bintang (dalam parsek (pc))
dan (m-M) disebut modulus jarak.
Persamaan modulus jarak umumnya digunakan
dalam menentukan jarak bintang-bintang yang jauh secara tidak langsung (metode
indirect). Seperti yang sudah pernah dibahas sebelumnya bahwa metode paralaks
trigonometri hanya bisa menentukan jarak secara akurat untuk beberapa bintang
dengan jarak kurang dari 500 pc. Untuk bintang yang lebih jauh lagi, perlu
digunakan metode-metode tak langsung (indirect). Salah satunya adalah dengan
mengukur magnitudo semu bintang lalu memperkirakan magnitudo mutlaknya. Cara
memperkirakan magnitudo mutlak ini banyak metode/caranya. Dengan mengetahui
magnitudo semu dan perkiraan magnitudo mutlak, maka kita bisa memperkirakan
jarak suatu bintang dengan modulus jarak.
Hal
yang perlu diperhatikan adalah persamaan modulus jarak di atas
valid/benar/akurat jika diasumsikan tidak ada materi antar bintang yang
terletak di antara arah pandang kita ke bintang. Materi antar bintang tersebut
dapat mengabsorpsi sebagian cahaya bintang. Jika keberadaan serapan oleh materi
antar bintang (MAB) tidak diabaikan, maka persamaan modulus jaraknya :
m - M = -5 + 5 log d + AV
dengan
AV : konstanta serapan materi antar bintang.
Contoh Soal:
Magnitudo mutlak sebuah bintang adalah M = 5 dan magnitudo semunya adalah m =
10. Jika absorpsi oleh materi antar bintang diabaikan, berapakah jarak bintang
tersebut ?
Jawab
:
m = 10 dan M = 5, dari rumus Pogson
m - M = -5 + 5 log d
diperoleh, 10 - 5 = -5 + 5 log d
5 log d = 10
log d = 2
m - M = -5 + 5 log d
diperoleh, 10 - 5 = -5 + 5 log d
5 log d = 10
log d = 2
–> d = 100 pc
Sebelum perkembangan fotografi, magnitudo
bintang ditentukan dengan mata. Kepekaan mata untuk daerah panjang gelombang
yang berbeda tidak sama. Mata terutama peka untuk cahaya kuning hijau di daerah
λ = 5 500 Å, karena itu magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo
visual atau mvis.
Dengan berkembangnya fotografi, magnitudo
bintang selanjutnya ditentukan secara fotografi. Pada awal fotografi, emulsi
fotografi mempunyai kepekaan di daerah biru-ungu pada panjang gelombang sekitar
4.500 Å. Magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo fotografi atau
mfot .
Jadi, untuk suatu bintang, mvis
berbeda dari mfot. Selisih kedua magnitudo tersebut, yaitu magnitudo
fotografi dikurang magnitudo visual disebut indeks warna (Color Index - CI).
Semakin panas atau makin biru suatu bintang, semakin kecil indeks warnanya.
Semakin panas atau makin biru suatu bintang, semakin kecil indeks warnanya.
Dengan berkembangnya fotografi, selanjutnya
dapat dibuat pelat foto yang peka terhadap daerah panjang gelombang lainnya,
seperti kuning, merah bahkan inframerah.
Pada tahun 1951, H.L. Johnson dan W.W.
Morgan mengajukan sistem magnitudo yang disebut sistem UBV, yaitu :
U
= magnitudo semu dalam daerah ultraungu (λef = 3500 Å)
B = magnitudo semu dalam daerah biru ( λef = 4350 Å)
V = magnitudo semu dalam daerah visual ( λef = 5550 Å)
B = magnitudo semu dalam daerah biru ( λef = 4350 Å)
V = magnitudo semu dalam daerah visual ( λef = 5550 Å)
Dalam sistem UBV ini, indeks warna adalah
U-B dan B-V. Semakin panas suatu bintang, semakin kecil nilai (B-V) nya. Dewasa ini pengamatan fotometri tidak lagi
menggunakan pelat film, tetapi dilakukan dengan kamera CCD, sehingga untuk
menentukan bermacam-macam sistem magnitudo tergantung pada filter yang
digunakan.
Contoh Soal:
Tiga bintang diamati magnitudo dalam panjang gelombang visual (V) dan biru (B) seperti yang diperlihatkan dalam tabel di bawah.
Tiga bintang diamati magnitudo dalam panjang gelombang visual (V) dan biru (B) seperti yang diperlihatkan dalam tabel di bawah.
No.
|
B
|
V
|
1
|
8,52
|
8,82
|
2
|
7,45
|
7,25
|
3
|
7,45
|
6,35
|
Tentukan bintang nomor berapakah yang
paling terang ? Jelaskanlah alasannya
Bintang yang anda pilih sebagai bintang
yang paling terang itu dalam kenyataannya apakah benar-benar merupakan bintang
yang paling terang ? Jelaskanlah jawaban anda.
Tentukanlah bintang mana yang paling panas
dan mana yang paling dingin. Jelaskanlah alasannya.
Jawab:
Bintang paling terang adalah bintang yang
magnitudo visualnya paling kecil. Dari tabel tampak bahwa bintang yang
magnitudo visualnya paling kecil adalah bintang no. 3, jadi bintang yang paling
terang adalah bintang no. 3
Belum tentu karena terang suatu bintang
bergantung pada jaraknya ke pengamat seperti terlihat pada rumus yang sudah
dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu bintang yang sangat terang bisa tampak
sangat lemah cahayanya karena jaraknya yang jauh.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita
tentukan dahulu indeks warna ketiga bintang tersebut, karena makin panas atau
makin biru sebuah bintang maka semakin kecil indeks warnanya.
Nomor
bintang
|
B
|
V
|
B – V
|
1.
|
8,52
|
8,82
|
-0,30
|
2.
|
7,45
|
7,25
|
0,20
|
3.
|
7,45
|
6,35
|
1,10
|
Dari tabel di atas tampak bahwa bintang yang mempunyai indeks warna terkecil adalah bintang no. 1. Jadi bintang terpanas adalah bintang no. 1.
- Magnitudo Bolometrik
Sistem magnitudo yang sudah kita bahas di
atas hanya diukur pada panjang gelombang tertentu saja (mvis,mfot,mB,mU).
Walaupun berbagai magnitudo tersebut dapat menggambarkan sebaran energi pada
spektrum bintang sehingga dapat memberikan petunjuk mengenai temperaturnya,
namun belum dapat memberikan informasi mengenai sebaran energi pada seluruh
panjang gelombang yang dipancarkan oleh suatu bintang. Oleh sebab itu,
didefinisikanlah sistem magnitudo bolometrik (mbol) yang menyatakan
magnitudo bintang yang diukur dalam seluruh panjang gelombang.
Magnitudo mutlak bolometrik bintang sangat
penting karena dapat digunakan untuk mengetahui luminositas dari sebuah bintang
(energi total yang dipancarkan permukaan bintang per detik) dengan
membandingkannya dengan magnitudo mutlak bolometrik Matahari.
Dengan:
Mbol¤= magnitudo mutlak bolometrik bintang
Mbol = magnitudo mutlak bolometrik Matahari (4,74)
Persamaan
modulus jarak untuk magnitudo bolometrik (absorpsi MAB diabaikan):
mbol - Mbol = -5 + 5log d
dengan d dalam parsec.
Apabila Mbol suatu bintang dapat
ditentukan, maka luminositasnya juga dapat ditentukan (dapat dinyatakan dalan
luminositas Matahari). Luminositas bintang merupakan parameter yang sangat
penting dalam teori evolusi bintang. Sayangnya, magnitudo mutlak bolometrik
sangat sukar ditentukan, karena beberapa panjang gelombang tidak dapat menembus
atmosfer bumi. Untuk bintang yang panas, sebagian energinya dipancarkan pada
daerah ultraviolet. Untuk bintang yang dingin, sebagian energinya dipancarkan
pada daerah inframerah. Oleh karena itu, pengamatan magnitudo bolometrik harus
dilakukan di atas atmosfer.
Untuk memudahkan, magnitudo bolometrik
ditentukan secara teori berdasarkan pengamatan di bumi. Atau, dapat ditentukan
secara tidak langsung, yaitu dengan memberikan koreksi pada magnitudo
visualnya, yang disebut koreksi bolometrik (Bolometric Correction - BC).
mv - mbol = BC
Mv - Mbol = BC
Nilai BC tergantung pada temperatur atau
warna bintang.
Untuk bintang yang sangat panas, sebagian
besar energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet sedangkan untuk bintang
yang sangat dingin, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah inframerah
(hanya sebagian kecil saja pada daerah visual). Untuk bintang-bintang seperti
ini, harga BC-nya besar. Untuk bintang-bintang yang bertemperatur sedang,
sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah visual, sehingga harga BC-nya
kecil.
Karena harga BC bergantung pada warna
bintang, maka kita dapat mencari hubungan antara BC dan indeks warna (B-V).
Untuk bintang yang dapat ditentukan magnitudo bolometriknya. Didefinisikan
bahwa harga terkecil BC adalah nol (BC ≥ 0). Untuk BC = 0 untuk (B-V) = 0,3. Hubungan antara nilai BC dengan indeks warna
(CI) ditunjukkan dalam grafik di bawah ini:
Untuk Matahari, magnitudo bolometriknya (mbol¤)
= -26,83, magnitudo mutlak bolometriknya adalah Mbol¤ = 4,74
dan koreksi bolometriknya BC = 0,08. Berikut disajikan tabel temperatur efektif
dan koreksi bolometrik untuk bintang-bintang deret utama dan bintang
maharaksasa:
B - V
|
Bintang
deret utama
|
Bintang
maharaksasa
|
||
Tef
|
BC
|
Tef
|
BC
|
|
- 0,25
|
24500
|
2,30
|
26000
|
2,20
|
- 0,23
|
21000
|
2,15
|
23500
|
2,05
|
- 0,20
|
17700
|
1,80
|
19100
|
1,72
|
- 0,15
|
14000
|
1,20
|
14500
|
1,12
|
- 0,10
|
11800
|
0,61
|
12700
|
0,53
|
- 0,01
|
10500
|
0,33
|
11000
|
0,14
|
0,00
|
9480
|
0,15
|
9800
|
- 0,01
|
0,10
|
8530
|
0,04
|
8500
|
- 0,09
|
0,20
|
7910
|
0
|
7440
|
- 0,10
|
0,30
|
7450
|
0
|
6800
|
- 0,10
|
0,40
|
6800
|
0
|
6370
|
- 0,09
|
0,50
|
6310
|
0,03
|
6020
|
- 0,07
|
0,60
|
5910
|
0,07
|
5800
|
- 0,003
|
0,70
|
5540
|
0,12
|
546
|
0,003
|
0,80
|
5330
|
0,19
|
5200
|
0,10
|
0,90
|
5090
|
0,28
|
4980
|
0,19
|
1,00
|
4840
|
0,40
|
4770
|
0,30
|
1,20
|
4350
|
0,75
|
4400
|
0,59
|
- Luminositas Bintang
Total energi per waktu / daya yang
dipancarkan sebuah benda hitam dengan luas permukaan pemancar A
dan temperatur T Kelvin disebut dengan Luminositas.
Besarnya luminositas (L) dihitung dengan persamaan :
L
= A σT4
Untuk bintang, bintang dianggap berbentuk
bola sempurna sehingga luas pemancar radiasinya (A) adalah 4πR2
; dengan R menyatakan radius bintang. Jadi, luminositas bintang
(L) adalah :
L
= 4πR2 σT4
Benda hitam memancarkan radiasinya ke
segala arah. Kita bisa menganggap pancaran radiasi tersebut menembus permukaan
berbentuk bola dengan radius d dengan fluks energi yang sama,
yaitu E. Besarnya E :
E
= L/(4πd2)
Fluks energi inilah yang diterima oleh
pengamat dari bintang yang berada pada jarak d dari pengamat.
Oleh karena itu, fluks energi ini sering disebut fluks energi yang diterima
pengamat. (bedakan antara besaran E dan F).
Persamaan ini disebut juga hukum kuadrat
kebalikan (invers square law) untuk kecerlangan (brightness, E)
karena persamaan ini menyatakan bahwa kecerlangan (E) berbanding
terbalik dengan kuadrat jaraknya (d). Jadi, makin jauh sebuah bintang,
makin redup cahayanya.
Untuk
mengukur diameter bintang biasa digunakan beberapa cara. Dari kecerlangan dan
jarak bintang, kita bisa menghitung luminositasnya (L), sementara dari observasi terhadap
kecerlangan pada panjang gelombang yang berbeda, kita bisa menghitung temperaturnya
(T).
Dari
sini, kita memperoleh cara untuk menghitung R, radius (jari-jari) bintang.
Dalam persamaan diatas, σ adalah konstanta Stefan yang nilainya 5,67 × 10-5
erg/cm2deg4sec. (Radius R disini merujuk pada
fotosfer bintang, daerah dimana bintang secara efektif terlihat bulat melalui
pengamatan dari luar.) Diameter sudut bintang dapat dihitung melalui efek
interferensi. Alternatif lainnya, kita bisa mengamati intensitas cahaya bintang
saat ditutupi oleh Bulan, yang menghasilkan difraksi di bagian pinggir dengan
pola yang bergantung kepada diameter sudut bintang. Diameter sudut bintang
sebesar beberapa milidetik-busur dapat diukur, namun sejauh ini terbatas pada
bintang-bintang yang relatif cemerlang dan dekat.
- Periode Orbit Bintang Ganda
Banyak
bintang yang membentuk sistem bintang ganda, dimana dua buah bintang secara
berpasangan mengorbit suatu pusat massa bersama. Periode (P) dari sistem
bintang ganda berhubungan dengan massa dari kedua bintang (m1 + m2),
dan sumbu orbital semimayor a melalui hukum ketiga kepler:
P2=4π2a3/G[m1
+ m2]
Dimana
G adalah konstanta gravitasi universal.
- Densitas Bintang
Dari diameter dan massa, nilai
rata-rata kerapatan (densitas) bintang dapat dihitung, dan kemudian kita juga
bisa mengukur tekanan dan temperatur di pusat bintang. Sebagai contoh, Matahari
kita memiliki kerapatan di pusatnya sebesar 158 g/cm3, tekanan
diperhitungkan mencapai 1.000.000.000 atmosfir, dengan suhu mencapai 15.000.000
K. Dalam suhu setinggi ini, semua atom akan terionisasi, dan dengan demikian
interior matahari terdiri dari plasma dan gas yang terionisasi, dengan inti
atom hidrogen dan helium serta elektron sebagai penyusun utamanya. Sekelompok
kecil inti hidrogen bergerak dengan kecepatan sedemikian tinggi hingga ketika
bertumbukan, terjadi tolakan elektrostatik yang menyebabkan fusi (penggabungan)
inti helium dan diikuti oleh pelepasan energi. Sebagian energi dihantarkan oleh
neutrino, namun sebagian besar dihantarkan oleh foton ke permukaan matahari.
Proses inilah yang memungkinkan Matahari memancarkan sinarnya.
- Klasifikasi Spektral Bintang
Dalam
astronomi, bintang dikelompokkan berdasarkan spektrumnya. Pengelompokan
berdasarkan spektrum ini dilakukan karena spektrum bintang memberikan informasi
yang sangat banyak, mulai dari temperatur sampai unsur-unsur yang terdapat
dalam bintang. Spektrum
adalah hasil dari pembiasan gelombang elektromagnetik (contohnya cahaya). Pada
dasarnya cahaya yang kita temukan sehari-hari - yang berwarna putih/bening -
adalah gabungan dari berbagai warna. Warna-warna ini yang menunjukkan tingkat
energi: merah menghasilkan energi yang paling rendah dan ungu menghasilkan
energi paling tinggi.
Berdasarkan
rumus:
E = hf =
hc/A
E
= energi,
h = konstanta Planck,
f = frekuensi,
c = kecepatan cahaya dan
A =
panjang gelombang
,
h = 6,63x10^-34
Maka
gelombang berenergi besar memiliki frekuensi yang besar, dan sebaliknya panjang
gelombangnya kecil. Informasi semacam ini yang diturunkan dengan berbagai
pendekatan fisika, sehingga dalam penerapannya di Astronomi, spektrum bintang
itu sangat penting.
Pengelompokan
bintang dengan kelas spektral seperti klasifikasi Morgan - Keenan. Lihat
gambar dibawah ini :
(Sumber:http://slideplayer.com/slide/10792049/38/images/3/Spectral+classification+1+Morgan-Keenan+spectral+classification.jpg)
Bintang
kelas O
adalah
bintang yang panas, berwarna biru. Bintang kelas M merupakan bintang yang
dingin. Matahari termasuk kedalam bintang dengan kelas G, warnanya kuning.
Perlu dicatat, klasifikasi seperti ini tidak ada hubungannya dengan ukuran
bintang. Jadi bintang kelas O belum tentu ukurannya sangat besar.
Dengan
melakukan observasi spektroskopi - yaitu pengamatan bintang khusus pada
spektrumnya - didapatkan panjang gelombang cahaya yang dipancarkan bintang.
Dengan rumus yang tadi, bisa diketahui berapa energinya. Dengan menerapkan
hukum Termodinamika bisa diketahui kaitan antara energi dengan temperatur.
Klasifikasi
MK ini diterapkan dalam diagram yang disebut Diagram Hertzprung - Russel.
Diagram ini dikembangkan oleh Astronom bernama Ejnar Hertzsprung dan Henry
Norris Russell sekitar tahun 1910, dan bermanfaat dalam mempelajari evolusi
bintang, yakni proses lahir, berkembang dan matinya bintang. Gambar HR diagram bisa dilihat seperti gambar di bawah ini:
Untuk
mendapatkan diagram HR ini, biasanya dilakukan 2 jenis observasi, yaitu
Spektroskopi dan Fotometri. Spektroskopi seperti yang sudah saya jelaskan tadi,
sedang Fotometri adalah pengamatan dengan berpatokan pada magnitudo
(kecerlangan) bintang. Dari pengamatan spektroskopi didapatkan kelas spektrum,
dan dari pengamatan fotometri didapatkan kelas luminositas. Lalu, dengan
mencocokkan posisi bintang dalam diagram terhadap kelas spektrum dan kelas
luminositasnya tersebut, dikaji lebih lanjut tentang radius dan umur bintang. Begitulah
salah satu cara analisis yang dilakukan astronom dalam mempelajari bintang. Matahari, misalnya, adalah bintang tahapan utama, yang dikelompokkan sebagai bintang tipe G2 V (V menunjukkan bintang tahapan utama), sementara Betelguese yang merupakan sebuah bintang super-raksasa merah, dengan suhu di permukaan sekitar setengah kali Matahari namun dengan luminositas sekitar 10.000 kalinya, dikelompokkan sebagai M2 Iab.
- Diagram Hetzprung-Russel
Bintang lainnya, baik yang lebih maupun kurang masif dibandingkan Matahari, memiliki struktur yang kurang lebih sama, namun dalam hal ukuran, tekanan dan temperatur di pusat, dan kecepatan reaksi fusi, semuanya bergantung pada massa dan komposisi bintang bersangkutan. Bintang dan reaksi fusi didalamnya (dan luminositas resultannya) tetap dalam keadaan stabil dan terhindar dari keruntuhan karena adanya keseimbangan antara tekanan ke arah dalam yang dihasilkan oleh tarikan gravitasi dan tekanan ke arah luar yang dipicu oleh foton hasil dari reaksi fusi.
Bintang yang berada dalam keadaan keseimbangan hidrostatik semacam ini disebut sebagai bintang tahapan utama (main-sequence). Dengan memanfaatkan diagram Hertzprung-Russel (H-R), kita bisa menghitung temperatur bintang berdasarkan magnitudo dan spektrumnya. Pengukuran terhadap magnitudo tampak pada pita spektral B dan V (antara 4350 dan 5550 angstrom [Å]) memungkinkan kita menghitung indeks warna (colour index), CI = mB - mV, dimana dari sana kita bisa menghitung suhu pada bintang. Untuk suhu yang sudah diberikan, ada bintang yang memiliki luminositas lebih besar dari bintang tahapan utama. Besar nilai R2T4 bergantung pada luminositasnya, makin besar luminositas, berarti radiusnya juga lebih besar. Bintang yang radiusnya lebih besar dari bintang-bintang tahapan utama kita golongkan sebagai bintang raksasa atau super-raksasa. Sebaliknya, bintang yang radiusnya lebih kecil kita masukkan kedalam golongan bintang kerdil. Bintang kerdil putih misalnya, memiliki rentang suhu berkisar 10.000 hingga 12.000 K dan secara visual terlihat berwana putih kebiruan.
- Contoh Bintang : Archenar
Achernar
adalah bintang biru-putih yang sedang berada dalam tahapan utamanya.
Berdasarkan kelas spektral dan luminositasnya, bintang ini digolongkan dalam kelas B3
Vpe. Sebelumnya, Achernar sempat diklasifikasikan secemerlang bintang
sub-raksasa. Massanya berkisar pada 6 hingga 8 kali massa Matahari, dengan
diameter 14,4 (± 0,4; polar) hingga 24,0 (± 0,8; ekuatorial) kali diameter
matahari. Luminositas visualnya setara dengan 1.070 kali matahari dengan
luminositas bolometrik (bergantung pada perkiraan radiasi ultraviolet yang
dipancarkan) setidaknya 2.900 hingga 5.400 kalinya.
Bintang
yang berotasi dengan sangat cepat ini tergolong bintang yang masih sangat muda.
Usianya tidak lebih dari beberapa ratus juta tahun. Sambil melontarkan massa
dengan besaran ribuan kali massa matahari, Achernar berotasi dengan kecepatan
mencapai 225 hingga 300 kilometer per detik sehingga membuatnya tergolong
sebagai bintang “Be” (B-emission), dimana ia dilingkupi oleh emisi
sirkumstelar (circumstellar emission, CSE) - gas yang melingkupi bintang - yang
terus berekspansi akibat massa yang terlontar dari bintang tersebut. Sebagai
bintang bermassa besar yang usianya masih sangat muda, Achernar berotasi dengan
sangat cepat, dengan periode rotasi hanya dalam hitungan jam.
Achernar
juga merupakan bagian dari kelas bintang yang ganjil, Lambda Eridani, yang
beranggotakan bintang-bintang yang menunjukkan variasi kecerlangan yang kecil
namun sangat teratur (dengan periode 1,25 hari) yang mungkin disebabkan oleh
adanya denyutan atau oleh rotasi dan keberadaan bintik gelap (seperti sunspot pada matahari kita). Walaupun Achernar
adalah bintang yang masif, ia masih cukup muda untuk melakukan reaksi fusi
hidrogen menjadi helium pada intinya, dan ukurannya mungkin cukup kecil untuk
kelak berevolusi menjadi bintang kerdil putih semacam Sirius B.
Pada
Juli 2003, suatu tim astronom dari European Southern
Observatory (ESO) yang
beranggotakan Armando Domiciano de Souza, Lyu Abe, Farrokh Vakili, Pierre
Kervella, Slobodan Jankov, Emmanuel DiFolco, dan Francesco Paresce mengumumkan
bahwa Achernar lebih pepat (datar pada kutub-kutubnya) ketimbang yang
sebelumnya diprediksikan, dengan radius pada ekuator lebih dari 50 persen lebih
besar daripada kutubnya. Berdasarkan penelitian tim ini, besaran angular pada
profil eliptik Archenar adalah 0,00253 ± 0,00006 detik busur (major
axis) dan 0,00162 ±
0,00001 detik busur (minor axis). Pada jarak yang terukur, radius bintang pada ekuator
diperkirakan sekitar 12 ± 0.4 kali matahari sementara batas atas (upper
value) radius pada kutub
diperkitakan sekitar 7,7 ± 0,2 kali matahari, atau sekitar 8,4 dan 5,4 juta
kilometer. Tim ESO memperkirakan bahwa batas atas tersebut bergantung pada
sudut inklinasi (kemiringan) dari sumbu kutub bintang tersebut terhadap garis
pandang dari Bumi, sehingga ukuran sebenarnya mungkin lebih kecil.
Di
sisi lain, bentuk semacam Archenar tidak dapat direproduksi melalui model
interior bintang yang umum, kecuali apabila ada fenomena lain yang ikut ambil
bagian, termasuk sirkulasi meridional di permukaan (”aliran utara-selatan”) dan
rotasi yang tidak seragam pada kedalaman yang berbeda pada bintang ini. Salah
satu efek samping dari kepepatan yang ekstrim pada bintang ini adalah tingginya
tingkat kehilangan massa dari permukaan, yang juga turut diperbesar oleh
rotasinya yang sangat kencang melalui efek sentrifugal.
Berdasarkan
intensitas radiasi ultravioletnya yang tinggi, jarak dari Achernar dimana
planet setipe Bumi dapat membentuk, lengkap dengan keberadaan air dalam bentuk
cair, adalah antara 54 hingga 73 AU, atau diluar orbit Pluto di tata surya kita. Dalam jarak
sedemikian dari bintang induknya, suatu planet akan memiliki periode orbit
antara 160 hingga 260 tahun Bumi. Apabila ada kehidupan di planet setipe Bumi
yang mengorbit Achernar, itu mestilah organisme primitif bersel satu, bakteri
anaerobik (tidak menghasilkan oksigen), dibawah bombardemen yang konstan dari
meteorit dan komet, seperti yang pernah dialami Bumi pada satu miliar tahun
pertama terbentuknya. Karena ketiadaan oksigen, maka planet itu mungkin tidak
memiliki lapisan Ozon (O3), meskipun Achernar melepaskan sejumlah
besar radiasi (khususnya ultraviolet) ketimbang matahari. Para astronom mungkin
akan kesulitan untuk mendeteksi keberadaan planet seukuran Bumi di sekeliling
Achernar apabila menggunakan metode yang dikenal saat ini.
- Konstanta Hubble
Dalam ilmu astronomi, kita mengenal apa yang
disebut sebagai hukum Hubble (Hubble’s Law). Hukum ini menyatakan
bahwa pergeseran merah
dari cahaya yang datang dari galaksi yang jauh adalah sebanding dengan
jaraknya. Hukum ini pertama kali dirumuskan oleh Edwin
Hubble pada tahun 1929.Kita
sudah pernah belajar tentang efek pergeseran Doppler, dimana kenyataan bahwa
galaksi-galaksi bergerak saling menjauh memberikan sebuah gambaran tentang alam
semesta yang mengembang yang apabila diekstrapolasikan ke waktu lampau akan
berpangkal pada peristiwa sebuah dentuman besar (big
bang) yang menandai
terbentuknya alam semesta. Hubble membandingkan jarak ke galaksi dekat dengan
pergeseran merah mereka, dan menemukan hubungan yang linear. Perkiraannya
tentang suatu konstanta perbandingan ini dikenal dengan nama konstanta Hubble
(dan sekarang juga dikenal sebagai “parameter Hubble” karena ternyata hal ini
bukanlah sekedar konstanta, melainkan suatu parameter yang tergantung pada
waktu yang menandakan perluasan alam semesta yang dipercepat), sebenarnya meleset
dengan faktor 10.Lebih
jauh lagi, jika seseorang menggunakan pengamatan Hubble yang asli dan kemudian
memakai jarak yang paling akurat dan kecepatan yang sekarang diketahui, ia akan
memperoleh suatu grafik scatter plot yang acak tanpa hubungan yang jelas
antara pergeseran merah dengan jarak. Sekalipun demikian, hubungan yang hampir
linear antara pergeseran merah dan jarak dikuatkan oleh pengamatan setelah
Hubble. Hukum ini dapat dinyatakan sebagai berikut:
v
= H0 D
dimana
v adalah pergeseran merah, biasanya dinyatakan dalam km/s (kecepatan di mana
galaksi menjauhi kita, untuk menghasilkan pergeseran merah ini melalui efek
Doppler), H0
adalah parameter Hubble (pada pengamat, seperti dilambangkan dengan indeks 0),
dan D adalah jarak sekarang dari pengamat ke galaksi, yang diukur dalam megaparsek: Mpc.
Kita
dapat menurunkan hukum Hubble secara matematis jika ia menganggap bahwa alam
semesta mengembang (atau menyusut) dan menganggap bahwa alam semesta adalah
homogen, yang berarti bahwa semua titik di dalamnya adalah sama.
Selama
sebagian besar dari paruh kedua abad ke-20, nilai dari H0 diperkirakan berada di antara 50 dan 90 km/s/Mpc. Nilai dari
konstanta Hubble sudah merupakan topik kontroversi yang cukup lama dan pahit
antara Gérard de Vaucouleurs yang menyatakan bahwa nilainya adalah 100 dan
Allan Sandage yang menyatakan bahwa nilainya adalah 50. Proyek Hubble Key
benar-benar melakukan perbaikan penting dalam menentukan nilai ini dan pada
bulan Mei 2001 mempublikasikan perkiraanya sekitar 72+/-8 km/s/Mpc. Pada tahun
2003 satelit WMAP menyempurnakan lebih jauh menjadi 71+/-4, menggunakan cara
yang sama sekali berbeda, berdasarkan pada pengukuran anisotropi pada radiasi
latar belakang gelombang mikro kosmik. Angka ini kemudian dikoreksi lagi pada
Agustus 2006. Berdasarkan data dari Observatorium Sinar X Chandra, nilai
konstanta hubble ditetapkan pada angka 70 (km/s)/Mpc, +2.4/-3.2.
Konstanta
Hubble adalah “konstan” dalam arti bahwa konstanta ini dipercaya bisa dipakai
untuk semua kecepatan dan jarak pada masa sekarang. Nilai dari H (yang biasa
disebut sebagai parameter Hubble untuk membedakannya dengan nilai sekarang,
konstanta Hubble) berkurang terhadap waktu. Jika kita menganggap bahwa semua
galaksi mempertahankan kecepatannya relatif terhadap kita dan tidak mengalami
percepatan atau perlambatan, maka kita memiliki D = vt dan oleh karena itu H = 1/t, di mana t adalah waktu sejak dentuman dahsyat (Big
Bang). Rumus ini dapat digunakan untuk memperkirakan usia alam semesta dari H.
Namun
pengamatan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa gerak galaksi dipercepat menjauhi
kita, yang berarti bahwa H > 1/t (tetapi tetap saja berkurang terhadap
waktu) dan perkiraan 1/H0 (antara 11 dan 20 milyar tahun) sebagai usia alam semesta
adalah terlampau kecil.
Comments
Post a Comment